SELAMAT DATANG

Selamat datang di www.madin-riu.blogspot.com Insya Allah bermanfaat

Selasa, 15 Maret 2011

Filsafat Ilmu

A. Pengertian Filsafat Ilmu
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
C. Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
• Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
• Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
• Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
• Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
• Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b. Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c. Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d. Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e. Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f. Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4. Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
• Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
• Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
• Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.
Daftar Pustaka
Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung: PPS-IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Filsafat_Ilmu,
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
Mantiq, .
Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)

Adab-Adab Mencari Ilmu

Penulis: Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed

Adab mencari ilmu mutlak diperlukan, bahkan para Salafush Shalih mendidik anak-anaknya dengan adab sebelum membawanya ke majelis ilmu.
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-: “Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”. (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah-: “Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”. (Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)
Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)
Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat baginya dan kaum muslimin.
Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-: “Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Niat Ikhlas
Karena menuntut ilmu adalah ibadah bahkan setinggi-tingginya ibadah kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- maka kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus“. (Al-Bayyinah:5)
Beramal dengan Ilmu
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sangat marah kepada mereka-mereka yang berbicara tentang ilmu sedangkan dia sendiri tidak beramal, Allah sebutkan dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan“. (As-Shaff:2-3)
Sabar, Tidak Terburu-Buru
Seorang pencari ilmu seringkali terbawa semangat, sehingga ia ingin dalam waktu yang relatif singkat untuk mendapatkan semua bidang ilmu. Ingatlah bahwa ilmu ini agama yang tidak terpisah dari amal, bukan hanya sekedar mengetahui dan menghafal. Maka pelajarilah secara bertahap dari yang paling penting, kemudian berikutnya, kemudian berikutnya. Tidak mungkin dengan belajar sebulan sampai dua bulan ia menjadi ulama atau dalam waktu singkat dia menjadi pakar hadits yang menshahihkan dan mendhoifkan hadits atau menjadi ahli fiqih yang dapat mengumpulkan hukum dari ayat-ayat dan hadits.
Para Ulama terdahulu mereka belajar dari sejak kecil sampai 30 tahun baru mempelajari ilmu hadits apalagi meriwayatkan hadits.

Sumber: Risalah Dakwah MANHAJ SALAF edisi 1/th V 18 Muharram 1430H/16 Januari 2009M

Pentingnya Tholabul Ilmu

Pentingnya Tholabul Ilmi
Lautan ilmu digambarkan oleh Allah dalam ayat suci al-Qur’an : seandainya laut dijadikan sebagai tinta untuk menulis kalam/ ilmu Allah maka tidak akan habis ilmu Allah, walaupun ditambah lagi lautannya, tetap tidak akan habis ilmu Allah.
Tamsil diatas menunjukkan kepada umat manusia akan maha luasnya ilmunya Allah Swt. Ketika seorang penuntut ilmu telah mendalam dalam mencari ilmu dan telah terbuka baginya pintu-pintu ilmu, maka dia (tetap) butuh akan tambahan ilmu, berlomba-lomba dalam mencarinya, dan bersemangat dalam memperbanyak ilmu.
Sungguh Allah telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdo’a meminta tambahan ilmu. Allah berfirman:
Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu (yaitu ilmu syar’i).“[1]
Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya agar memperbanyak ilmu dan bersemangat mencari tambahan ilmu walaupun umurnya sudah tua sampai pemiliknya masuk ke jannah (maksudnya: mencari ilmu itu sampai meninggal dunia dan tempatnya seorang mu`min di akhirat adalah di jannah).
Al Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Seorang mu`min tidak akan kenyang dari kebaikan yang dia dengar sampai tempat berakhirnya adalah jannah.“[2]
Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kegairahan / keinginan dalam ilmu dan cinta padanya termasuk konsekuensi-konsekuensi iman dan termasuk di antara sifat-sifat orang-orang yang beriman. Dan beliau mengabarkan bahwa hal ini (gairah terhadap ilmu dan cinta padanya) akan tetap ada pada seorang mu`min sampai dia masuk jannah.[3]
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan beberapa atsar yang menerangkan semangat salafush shalih dalam mencari ilmu[4], di antaranya:
• Dari Al Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya aku mencari ilmu sampai aku dimasukkan ke dalam kubur.”
• Al Hasan ditanya tentang seseorang yang berumur 80 tahun, “Apakah dia masih layak mencari ilmu?” Beliau menjawab, “Jika ia masih layak hidup (maka dia layak mencari ilmu).”
• Dikatakan kepada Ibnu Bustham, “Betapa semangatnya engkau dalam mencari hadits.” Maka beliau berkata, “Tidakkah engkau suka kalau aku termasuk ke dalam deretan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Apabila keadaan hikmah itu seperti barang yang hilang dari seorang mu`min, maka wajib baginya untuk mencarinya. Dan hikmah adalah ilmu, maka jika seorang mu`min kehilangan ilmu, dia seperti keadaan orang yang kehilangan harta yang berharga. Maka jika dia menemukannya, hatinya akan mantap dan jiwanya akan bergembira.[5]
Di antara wasiat Luqman Al Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama dan mendekatlah kepada mereka dengan kedua lututmu, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati-hati (manusia) dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang mati (kering) dengan hujan yang deras.”[6]
Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu didatangi kematian, beliau berkata, “Selamat datang kematian, selamat datang tamu yang datang dengan suatu hajat. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak suka untuk tetap berada di dunia dalam rangka melintasi sungai-sungai dan menanam pepohonan. Akan tetapi aku suka tinggal di dunia untuk merasakan kepayahan di malam yang panjang, merasakan haus di bawah terik matahari pada hari yang sangat panas, dan mendekati ulama dengan kendaraan-kendaraan di dalam majlis dzikir.”[7] Yakni majlis ilmu.
Berkata Sa’id bin Jubair rahimahullah, “Seseorang tetap dikatakan ‘alim selama dia tetap belajar. Maka apabila dia meninggalkan belajar dan merasa cukup dengan ilmu yang ada padanya, maka dia adalah orang yang paling bodoh.”[8]
Dan demikianlah, yang akan menguatkan seorang penuntut ilmu yaitu dengan menjadikan semangat yang pertama kalinya adalah mencari ilmu, meminta tambahan ilmu, selalu bersungguh-sungguh dan rajin dalam mencarinya, bersemangat untuk menghadiri majlis-majlis para ulama, dan menelaah kitab-kitab ilmu serta menguasainya.
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Selayaknya seseorang untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu baik dengan cara membaca, dibacakan ataupun membacakan kepada orang lain, menelaah, memberikan catatan-catatan, membahas, mudzakarah (mempelajari dan muroja’ah / mengulang pelajaran), dan menulisnya. Dan janganlah dia merasa sombong sehingga tidak mau belajar kepada orang yang di bawahnya dari sisi umur, nasab, atau kemasyhuran. Bahkan hendaknya dia bersemangat untuk mendapatkan faidah dari orang yang memilikinya.”[9]
Beliau juga berkata, “Dan termasuk di antara adab-adab seorang penuntut ilmu yang sangat ditekankan adalah hendaklah dia bersemangat dalam belajar, menekuninya di seluruh waktu-waktu yang memungkinkan baginya, dan janganlah merasa cukup dengan ilmu yang sedikit dalam keadaan dia mampu untuk mencari yang banyak, namun jangan memaksakan diri mencari apa-apa yang dia tidak mampu agar tidak menjadikan dia bosan dan menghilangkan ilmu yang telah dia dapatkan. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan manusia dan keadaannya.”[10]
Demikianlah yang selayaknya dimiliki oleh seorang penuntut ilmu yaitu senantiasa bersemangat dan rajin. Karena dikatakan (di dalam sebuah sya’ir): “Sesuai dengan usaha yang engkau berikan, maka engkau akan mendapatkan apa yang engkau angan-angankan.”[11] Dan hendaklah dia mempunyai semangat dalam mencari ilmu, memperbanyak menelaah ilmu yang bermacam-macam, dan jangan mencukupkan dengan sebagiannya saja. Terlebih khusus jika ilmu itu punya hubungan dengan ilmu syar’i, seperti ilmu bahasa ‘Arab.
Ta’lim Rabu, 29 Dzulhijjah 1425, di Jl. Parakan Asih no. 15 Bandung
Oleh Al Akh Abu Rasyid
Kitab Aadaabu Thaalibil ‘Ilmi halaman 73-76
——————————————————————————–
[1] Surat Thaahaa: 114.
[2] Hadits riwayat At Tirmidzi no. 2686, dan beliau berkata: hadits hasan gharib.
[3] Miftaahu Daaris Sa’aadah karya Ibnul Qayyim 1/74.
[4] ibid.
[5] ibid 1/75.
[6] Diriwayatkan oleh Al Imam Malik di dalam Al Muwaththa`, bab Maa Jaa`a fii Thalabil ‘Ilmi. Lihat Tanwiirul Hawaalik Syarh Muwaththa` Al Imam Malik 3/161.
[7] Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi karya Ibnu ‘Abdil Barr 1/51.
[8] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jamaa’ah halaman 183.
[9] Al Majmuu’ 1/29.
[10] At Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Qur`aan halaman 41.
[11] Ta’liimul Muta’allim Thariiq At Ta’allum karya Az Zarnuji halaman 88.